Teralis

Jam 11 malam dan suara keras dari unit blok seberang terdengar. Seperti seorang yang sedang memukul tembok. Sudah larut seperti ini, apa yang ada dibenak tetanggaku itu. Aku bangkit untuk berjalan ke balkon. Suara ternyata berasal dari unit di blok sebelah kanan, karena blok unit ku berbentuk L, jadi aku bisa melihat jelas balkon tetanggaku itu.

Sambil merokok aku memperhatikan, rupanya mereka sedang memasang teralis di jendela kamar utama. Entah kenapa mereka harus memasangnya semalam ini, Besok pagi juga pasti bisa. Suara ribut dari pemasangan teralis itu tidak berlangsung lama, teralis itu sudah terpasang. Sebelum aku masuk kedalam aku bisa melihat anak kecil berumur 8 tahun yang memandang keluar melalui teralis itu. Ibunya berdiri dibelakang mencoba menariknya untuk kembali ke kasur.

Pagi hari aku baru tersadar. Unit ku berada di lantai 27 lantai tertinggi di apartemen ini, untuk apa tetanggaku itu memasang teralis? Seperti ketakukan akan ada pencuri yang bisa terbang dan masuk kedalam unitnya. sangat konyol menurutku memasang teralis di lantai 27 seperti ini.

Saat aku keluar dari unit ku, dalam lift aku bertemu dengan tetangga yang kulihat semalam. Anak kecil yang kulihat semalam terus mengamatiku  sambil memeluk kaki ibunya seperti ketakutan melihat monster besar. Ibunya pun tersenyum ketir dan Aku pun mau tak mau harus membalasnya .

“baru pindah bu?”

“iya, berdua saja dengan putra saya”

“wah adenya lucu banget, namanya siapa bu? umur berapa?”

“Rara, Baru lima tahun”

“bapaknya kemana nih bu, gak ikut?”

“dia ……….”

Ibu itu tidak melanjutkan kata-latanya. Dia terdiam dan menggengam lengan anaknya erat. Anak kecil itu tiba-tiba berteriak kesakitan karena genggaman ibunya tetapi ibunya tidak bergeming sedikitpun. Anaknya mulai menangis dan aku bingung apa aku harus berbicara sesuatu atau tidak.  Aku tak berani bertanya kembali aku hanya berharap lift ini cepat sampai di lantai dasar.

.

.

.

Setelah pertemuan itu, aku hampir selalu berpapasan dengan ibu tetangga itu. Herannya dia selalu sendiri tidak di damping anaknya. Tiga hari berturut-turut ketika aku coba mengajaknya tersenyum mengajak dia bercakap, tetapi dia selalu memalingkan muka. Aku hanya ingin bertanya kabar anaknya, Rara. Riskan juga menurutku meninggalkan anak berumur 5 tahun sendirian di dalam apartement. Sempat aku bertanya kepada tetangga yang lain di lantai ku, dan mereka pun menjawab hal yang sama, mereka tidak pernah melihat anak itu selain hari pertama ibu dan anak itu pindah ke apartemen.

.

.

.

Hingga Malam itu aku bekerja di depan laptop sambil membuka tirai jendela agar aku bisa melihat bulan purnama dilangit sana. Aku terus mengetik ketika tiba-tiba teringat ekspresi dari tetangga baru ku ketika pertama kali bertemu . bagaimana wajahnya tiba-tiba berubah ketika aku bertanya tentang suaminya. Mungkin suaminya kabur dari rumah hingga dia diam seperti itu. Tapi mengapa dia harus menggenggam lengan anaknya hingga menangis aku masih belum mengerti.

Letih bekerja aku pun bangun untuk istirahat di balkon sambil merokok. Baru kuhembuskan asap pertama dari rokokku aku melihat ke kamar tetangga baru, dan disitu aku melihat Rara, anak yang tidak pernah kulihat lagi sejak mereka pindah. Terkejut aku ketika melihat wajahnya seperti ada bekas luka pukul dan sayatan pisau di tangannya. Dia hanya terdiam menggengam teralis dikamarnya, wajahnya tidak menunjukan ekspresi apapun.

Tiba-tiba ibunya keluar ke balkon dari dalam, dia menangis sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Dia terisak-isak, sesekali mengambil nafas dan langsung memandang bulan purnama diatas. Hampir aku menjatuhkan rokok ku ketika melihat apa yang dia genggam di lengannya. Sebuah pisau dapur yang berdarah.

Aku menggosok mataku dalam rasa tidak percaya, aku pun mengalihkan pandangan kembali ke kamar, dimana Rara berada, dan saat itu pula aku melihat… taring tumbuh dari gigi rara, rambut hitam muncul dari seluruh kulitnya, badannya membesar dan dalam sekejap dia sudah berubah menjadi seekor monster dengan taring panjang. Monster itu  terus mengguncang teralis di  jendela dengan sangat kencang.

Aku hampir terjatuh melihat hal itu, rasa takut mulai menjalar ke seluruh tubuhku persis ketika aku melihat ibu rara menatap  kearahku dari balkonnya. Wajahnya pasrah, pipinya basah oleh air mata dari ketakutan. Kami  terlalu takut untuk berteriak, hanya terdiam dan saling berpandangan, ketika tiba-tiba terdengar suara keras seperti pintu yang berhasil di dobrak, aku baru sadar, monster itu sudah tidak ada di dalam kamar lagi.

*its not to keep someone from getting in, but to keep someone from getting out*

 

 

6 thoughts on “Teralis

  1. Kita punya monster di dalam diri, yang terkadang teralis besi pun tidak bisa mencegahnya keluar. Tutur halus dan penampilan tidak berdosa bukanlah jaminan bahwa dia bukan monster bengis yang siap menerkam di saat kita lengah…

Leave a comment