the almost bride (the groom 2)

“can we meet? At the usual, 7 PM?” aku membaca ulang text dari Ben, jam sudah menunjukan jam 7 lewat, tapi aku sengaja berdiri merokok,menunggu di luar. Harusnya bukan hari ini aku bertemu Ben, entah kenapa dia memaksaku untuk bertemu. Seperti biasa sebelum masuk, aku berdiri di depan pintu coffe shop, merapihkan diri. Aku memeriksa kotak berwarna coklat yang akan kuberikan kepadanya dan mencopot cincin dari jari manisku. Kupandangi cincin itu, entah sudah berapa kali aku melepas dan memasangnya sejak tiga tahun lalu.

……………………………….

“Im getting married, bree” 

Aku tertegun mendengar Ben berkata tiba-tiba seperti itu. sudah kupersiapkan diri untuk menunggu kabar ini tapi tetap saja dada sekarang terasa sesak. Seharusnya kata menikah menjadi kata bahagia yang dapat diucapkan dan didengar seseorang , tapi sepertinya tidak untuk ku dan Ben. Banyak yang ingin aku sampaikan kepada Ben, tetapi semua itu hanya menumpuk di dalam benakku dan tak satupun mampu keluar.

“kamu sadar, tepat hari ini kita bertemu dua tahun lalu?” ujarku, memandang wajahnya. “Aku tahu, irony isn’t it?” jawab Ben.

Aku tidak ingin berlama-lama lagi berada didepannya. Aku letakan kotak berwana coklat berisi pena di meja dan pergi tanpa berkata apapun. Aku tak ingin menoleh kebelakang. Ku buka hp yang sedari tadi bergetar, kubaca text dari Nico “im at the parking spot, don’t make me wait for too long!” dan cincin itu pun kembali kupasang.

…………………………………

“ini tidak adil untuku” ujarku. surat undangan itu aku biarkan berada di meja.

Ben seperti tertegun lalu berkata “ini memang tidak adil Bree, untukmu dan untukku. Tapi jika kulanjutkan ini tidak adil untuknya”

Ben benar kami tidak akan bisa untuk bersama, terlalu banyak jika diantara kami untuk dilanjukan, jika saja aku lebih berani, jika saja aku bertemu lebih awal dengannya, jika saja aku bukan aku.

Ya benar, Jika saja aku bukan aku, aku tidak akan bersama Nico sekarang. Nico, laki-laki yang memberikan cincin ini tiga tahun lalu. Laki-laki yang sudah mapan, dewasa tetapi temperamental.  laki-laki yang sepertinya sempurna untuk orangtuaku.

Aku bangkit dari duduk untuk berjalan ke arahnya, aku bungkukan  badan dan mencium bibirnya, lama kami saling menutup mata, “kau yang terindah” ujarku sebelum bangkit untuk pergi.

……………………………..

“I decided to be happy and you should too”  Ben berkata lembut di telingaku, aku bergerak mundur, terkejut dengan apa yang sudah dikatakannya. Aku bergegas turun dari pelaminan. Aku memandangi Ben dan istrinya mereka tersenyum bahagia, tulus. Ben sudah memilih jalan yang benar.

Aku memikirkan kembali apa yang Ben katakan tadi dan dia benar, aku berhak memilih untuk bahagia. Kupejamkan mata dan berdoa atas apa yang akan aku lakukan, Aku melepas cincin dari jari manisku, kugenggam erat di tanganku. Mengumpulkan keberanian, Aku berjalan kearah Nico yang sudah menunggu. aku tahu kali ini aku melepaskan cincin ini dengan alasan yang benar.

Nico menyambut ku dengan wajah kesal “sudah?” tanyanya ketus. Aku tersenyum menghadapnya.

“are you done?” ujarnya mengulang pertanyaan.

Aku menarik nafas panjang dan mendekatinya. Aku menarik tangan Nico memberikan kembali cincin yang dia berikan ke telapak tangannya.

“I’m done Nico, I’m going to chase my own happiness now….”  

Tamat…

It may not be a perfect end, but It can be a perfect start.

Bandung, January 2014

2 thoughts on “the almost bride (the groom 2)

Leave a comment