Dalam ruangan yang cukup besar ini, cahaya masuk melalui kaca yang berwarna- warni. Langit-langit yang tinggi membuat cahaya itu bagai pilar berwarna. Di ujung ruangan cahaya itu lebih terang melalui pintu yang terbuka lebar.
Aku berada di depan ruangan, ibu berjalan menghampiriku, dari wajahnya Ibu seperti kelelahan, tetapi tetap dia sempatkan tersenyum sebelum mendekatiku.
“Sepatumu sangat bagus” ujar Ibu tiba-tiba berbicara kepadaku setelah melihat sepatu hitamku yang mengkilat.
“Ibu ingat sejak kecil kamu menyukai sepatu yang bersih dan rapih,ibu senang ketika kau menjelaskan bahwa hal kecil seperti ini yang menunjukan karekater seseorang” kata Ibu sambil tersenyum.
“Celana hitam ini sudah sedikit agak ketat sepertinya” sambil mengambil benang yang jatuh di celanaku.
“Ingat celana sekolah mu dulu? Kau selalu ingin lebih panjang dari yang lain, menutupi lutut . Kamu selalu ingin berbeda dari yang lain. Ibu senang membebaskanmu memilih apa yang kau suka dalam hidup, mengantarkanmu hingga mampu berdiri sendiri.”
Ibu tersenyum kembali, aku ingat betapa banyak yang aku minta dari Ibu untuk dapat membesarkanku. Semua dapat Ibu penuhi tanpa mengeluh, tanpa mempertanyakan, tanpa pamrih, tulus.
“Kemaja ini sangat pas dengan kulitmu” ujar Ibu sambil membetulkan kancing di lengan kemejaku.
“ingat ketika kau akan sidang? Malam sebelumnya kamu marah-marah mencari kemeja, mencari pelampiasan atas keresahanmu. Untung ibu ada disana, kamu hanya perlu seseorang untuk meyakinkanmu bahwa kamu bisa.”
Ibu menempatkan bunga di saku Jas ku, sekuntum mawar merah.
“ingat apa yang ibu katakan tentang bunga, kau sudah menemukannya bukan, bunga hatimu, kamu sudah menjadi daun yang serasi dengan Rita. Banyak nasihat yang ibu bisa berikan, tapi sayang waktu yang tidak pernah tepat yah”
Kadang aku bertanya apa aku sudah dapat membahagiakan Ibu, membalas semua yang telah dia berikan kepadaku. Sayang aku terlalu sering bergantung pada waktu, menunda bahkan hanya untuk bertemu dengannya. Ibu benar, waktu tidak akan pernah berpihak.
Terakhir ibu merapihkan dasiku, tetes air mata jatuh diatas dasi biruku.
“Ah maaf, ibu membasahi dasimu dengan air mata” ibu membersihkan bekas air di dasiku dengan sapu tangan, “ibu ingat tangisan pertama mu, hati ibu berdebar kencang karena bahagia, kau hadir di pelukan ibu dan ayah setelah menunggu sekian lama. Kau permata ibu,hadir didunia ini sebagai titipan dari Tuhan yang sangat berharga”
Ibu terdiam selama beberapa menit, terus memegang tanganku.
“Sepertinya semua sudah rapih”, ibu mundur selangkah dan memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala. “Kau sangat tampan, persis seperti ayahmu” ibu mendekati ku, menyeka airmata di pipinya kemudian mencium keningku untuk terakhir kali.
Kaki ibu yang lemah sudah tidak kuat berdiri lama, ibu hampir terjatuh tetapi adikku yang berdiri dibelakang sudah siap menahan tubuhnya. “sudah saatnya bu” ujar adikku dibelakang ibu.
Ibu tidak kuasa menahan tangisnya, sendu didalam tangisnya. ibu berkata dengan sangat perlahan “Kau sudah membuat ibu sangat bahagia, Ibu sangat menyayangimu Nak” sebelum lengannya menutup peti jenasahku.
Seketika Duniaku semua menjadi gelap, tetapi entah mengapa kata-kata terakhir ibu dapat mengarahkanku kepada cahaya terang di ujung sana.
SCBD – Jakarta, November 2013
We all love you so much A..